Percakapan Dengan Maut

Percakapan ini terjadi di suatu malam di musim panas. Saat cuaca benar-benar panas, sehingga malam yang dingin pun tidak lagi dingin. Maut datang dan mengajakku keluar, menghindari panas yang sepertinya akan membunuhku.

Berdua kami menyusuri jalanan yang sudah sepi, sambil mengobrol layaknya dua orang sahabat lama.

Maut: Kau tahu kenapa banyak orang yang mati akhir-akhir ini?
Aku : Kenapa?
Maut: Karena mereka ingin mati.
Aku : Kenapa?
Maut: Banyak sebab. Kau mungkin sering mendengarnya. Masalah ekonomi, masalah keluarga. Tapi bukan itu masalah utamanya. Masalahnya adalah karena mereka memang ingin mati.
Aku: Kau ikut berperan bukan?
Maut: Aku? Aku hanya menjalankan tugasku.
Aku : Ya. Membunuh.
Maut: Jangan salah. Aku bukan pembunuh. Aku adalah pencabut nyawa.
Aku : Apa bedanya. Sama saja.
Maut: Beda. Pembunuh, punya makna sepertinya aku penjahat. Sedang pencabut nyawa kedengaran sedikit lebih bonafid.
Aku : Terserah kau saja.
Maut : Hahaha. Kau tidak setuju, ya?
Aku : Buatku tidak ada bedanya. Sama-sama menghilangkan nyawa.
Maut: Kau tidak mengerti. Aku adalah pencabut nyawa. Artinya ada orang-orang yang memang sudah ditetapkan untuk mati dan tugasku adalah melaksanakan ketetapan itu.
Aku : Ketetapan ya…
Maut : Ya begitulah. Kurasa kau juga sudah tahu kalau semua orang sudah ditetapkan untuk mati.
Aku : Ya.
Maut : Tapi satu hal yang mungkin kau tidak tahu. Aku bisa mempercepat kematian itu.

Aku diam saja.
Mempercepat kematian….
Aku merenungkan kata-kata Maut barusan.
Mempercepat kematian…

Maut : Pada dasarnya manusia itu mempunyai keinginan untuk mati. Dan yang perlu aku lakukan hanyalah sangat sederhana. Aku memancing keinginan untuk mati itu supaya muncul dan semakin membesar. Kalau sudah cukup besar, keinginan untuk mati itu akan dengan senidirinya membunuh orang itu. Sederhana saja.
Aku : Bagaimana caranya?
Maut: Kau mau tahu? Sayang itu adalah rahasiaku.
Aku : Ya sudah.
Saat itu kami sampai di sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai besar yang kotor. Kami berhenti dan memandangi air sungai yang kotor karena sampah.

Maut : Kotor sekali sungai itu.
Aku : Ya. Seperti…

Aku berhenti mengucapkan kelanjutan kata-kata yang akan kuucapkan.

Maut : Seperti dirimu. Itu kan yang mau kau ucapkan?
Aku : Ya. Seperti aku.

Kami sama-sama diam. Tapi pikiranku berkelana. Jauh melewati sungai yang mengalir. Jauh melewati kegelapan malam.

Ya. Aku memang kotor. Dari luar aku tampak sebagai orang yang sukses. Pekerjaan berhasil. Karir lancar. Penghasilan besar. Tapi aku merasa kotor. Ada dosa-dosa yang tidak orang ketahui. Ada kesalahan-kesalahan yang sering aku lakukan. Dan itulah yang membuatku merasa kotor.

Maut : Merenungi kekotoranmu? (sambil tersenyum sinis)
Aku : Dari mana kau tahu? (dengan nada datar tanpa ekspresi)
Maut : Hehehe. Percuma saja kau menyembunyikannya. Walaupun sejak pertama kali bicara denganku kau tidak menunjukkan emosi sama sekali, aku tahu apa yang kau rasakan atau kau pikirkan. Katakanlah ini sebuah karunia bagiku.

Aku tidak menyahut.

Maut : Kau tahu kenapa sungai ini selalu kotor?

Aku masih tidak menjawab.

Maut : Karena orang terus membuang sampah ke dalamnya. Sampai kapan pun selama orang menjadikan sungai ini tong sampah, sungai ini akan tetap kotor. Kau juga sama. Selama kau hidup, orang selalu menjadikanmu tong sampah mereka. Benar kan apa kataku?

Pikiranku mencerna kata-kata Maut.
Tong sampah… aku… orang lain…

Maut : Biar aku beri contoh. Keluargamu. Mereka selalu ribut menyalahkanmu buat semua kesalahan yang ada. Teman-teman kantormu. Mereka selalu menjadikanmu sasaran kemarahan kalau mereka gagal. Apa lagi? kau pasti lebih tahu dari aku kan?

Maut : Sampai kapan kau akan jadi tong sampah mereka? Semua ini harus diakhiri sekarang.

Benar. Semua ini harus diakhiri. Sekarang. Saat ini juga.

Maut : Biar aku beri kau jalan keluarnya. Kematian. Perhatikan. Selama kau hidup, mereka terus seperti itu. Selama kau ada mereka akan terus seperti itu. Tapi bagaimana kalau kau tidak ada? Mereka tidak bisa berbuat seperti itu lagi padamu bukan?

Ya. Benar. Masalahnya adalah karena aku ada. Aku ada. Aku harus tidak ada. Aku harus menghilang. Aku harus mati.

Maut : Mau kuberi saran lebih baik lagi. Terjun. Kalau kau terjun dari sini, aku berani jamin, kau akan bebas dari kekotoranmu. Bagaimana?

Terjun… bebas dari kekotoran…

Maut : Hanya ada satu jalan…

Waktu seperti berhenti waktu itu. Tiba-tiba aku merasakan angin malam berhembus dingin menusuk sum-sumku dan menyadarkanku.

Aku : Maaf. (tersenyum kecil) Tapi kau tidak bisa mempercepat kematianku. Aku masih ingin hidup. Selamat tinggal.

Aku berbalik dan meninggalkan Maut sendirian di atas jembatan.

Maut : Hahaha….

Aku berhenti dan menengok ke arah Maut, yang masih berdiri di jembatan. Entah kenapa dia tertawa begitu puas, begitu lepas. Entah menertawakan siapa. Dirinya. Diriku. Atau sang nasib yang sepertinya mempermainkan kami dalam permainannya.

Copyright:

Tulisan ini adalah karya dari DP pada website http://www.kolomkita.com/2008/12/04/percakapan-dengan-maut/

Posted on May 17, 2011, in Cerita Pendek, Cerpen Amatir. Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment